Pulau Parang di Kepulauan Karimunjawa termasuk dalam provinsi Jawa Tengah, namun karena letaknya yang jauh dari daratan utama Jawa, Pulau Parang membutuhkan sistem energi yang mandiri. Sampai 2014, Pulau Parang masih menggunakan pembangkit diesel sebagai sumber listrik 1.153 penduduknya. Kendala yang paling dirasakan dalam pembangkitan listrik diesel adalah kebutuhan minyak solar yang harus didatangkan dari Pulau Jawa, apalagi jika musim gelombang tinggi.
Pada 2014, pembangkit diesel di Pulau Parang diganti dengan tenaga surya (PLTS) yang dayanya mencapai 75 kW yang berfungsi 24 jam, dengan biaya pembangunan yang mencapai USD 243 ribu. Perhitungan harga energi PLTS tersebut menunjukkan nilai USD 0,11 per kWh listrik, lebih mahal daripada harga listrik di Jawa, USD 0,09 per kWh listrik. Harga tersebut membuat PLTS menjadi tidak layak untuk dibisniskan model PLN, sehingga masyarakat hanya dibebani iuran bulanan Rp 10 ribu atau sekitar USD 0,73.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan pembangkit diesel, PLTS berhasil membuktikan beberapa keunggulan, seperti emisi karbon tercegah yang mencapai 4,81 ton CO2-eq; layanan listrik yang 24 jam (sebelumnya hanya 6 jam); serta perilaku masyarakat dalam menggunakan energi yang efisien karena adanya batasan jumlah listrik. Diperlukan langkah strategis berbagai pihak untuk menurunkan biaya investasi PLTS agar dapat mengadaptasi model bisnis PLN.